ISLAMNYA
Umar telah membawa kelemahan ke dalam
tubuh Quraisy
karena ia
masuk agama ini dengan semangat
yang sama seperti
ketika ia
menentangnya dahulu. Ia
masuk Islam tidak
sembunyi-sembunyi, malah
terang-terangan diumumkan di
depan
orang
banyak dan untuk itu ia bersedia
melawan mereka. Ia
tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan
mengendap-endap
di
celah-celah pegunungan Mekah, mau melakukan
ibadat jauh
dari
gangguan Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy, sampai
nanti
dia beserta Muslimin itu dapat
melakukan ibadat dalam
Ka'bah.
Disini pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang
dialami Muhammad
dan sahabat-sahabatnya, takkan
mengubah
kehendak
orang menerima agama Allah, untuk kemudian berlindung
kepada
Umar dan Hamzah, atau ke Abisinia atau
kepada siapa
saja
yang mampu melindungi mereka.
Quraisy
lalu membuat rencana lagi mengatur langkah berikutnya.
Setelah
sepakat, mereka membuat
ketentuan tertulis dengan
persetujuan
bersama mengadakan pemboikotan total terhadap Banu
Hasyim dan
Banu Abd'l-Muttalib: untuk
tidak saling
kawin-mengawinkan, tidak
saling berjual-beli apapun.
Piagam
persetujuan
ini kemudian digantungkan di dalam Ka'bah
sebagai
suatu
pengukuhan dan registrasi bagi Ka'bah. Menurut perkiraan
mereka, politik
yang negatif, politik
membiarkan orang
kelaparan dan melakukan pemboikotan begini akan memberi
hasil
yang
lebih efektif daripada politik kekerasan dan
penyiksaan,
sekalipun kekerasan dan penyiksaan itu tidak mereka
hentikan.
Blokade-blokade
yang dilakukan Quraisy terhadap kaum
Muslimin
dan terhadap
Banu Hasyim dan
Banu Abd'l Muttalib
sudah
berjalan
selama dua atau tiga tahun, dengan harapan
sementara
itu Muhammadpun akan ditinggalkan oleh
masyarakatnya sendiri.
Dengan
demikian dia dan ajarannya itu tidak lagi berbahaya.
Akan tetapi
ternyata Muhammad sendiri
malah makin teguh
berpegang pada
tuntunan Allah, juga keluarganya,
dan mereka
yang sudah
berimanpun makin gigih
mempertahankannya dan
mempertahankan agama
Allah. Menyebarkan seruan Islam
sampai
keluar perbatasan
Mekah itu pun
tak dapat pula
dihalang-halangi.
Maka tersiarlah dakwah itu ke
tengah-tengah
masyarakat
Arab dan kabilah-kabilah, sehingga membuat
agama
yang baru
ini, yang tadinya hanya terkurung
ditengah-tengah
lingkaran
gunung-gunung Mekah, kini
berkumandang gemanya ke
seluruh jazirah.
Orang-orang Quraisy makin tekun
memikirkan
bagaimana
caranya memerangi orang yang sudah melanggar
adat
kebiasaannya dan
menista dewa-dewanya itu, bagaimana caranya
menghentikan tersiarnya
ajarannya itu di
kalangan
kabilah-kabilah Arab,
kabilah-kabilah yang tak dapat hidup
tanpa
Mekah dan juga Mekah tak dapat hidup tanpa mereka dalam
perdagangan, dalam
kegiatan impor dan
ekspor dari dan ke
Ibukota
itu.
Quraisy
mencurahkan semua kegiatannya dalam memerangi
orang
yang dianggapnya
sudah melanggar kebiasaan mereka, melanggar
kepercayaan
mereka dan kepercayaan leluhur mereka itu.
Dengan
tabah
dan secara terus-menerus selama bertahun-tahun, apa yang
telah
mereka lakukan untuk menghancurkan
ajaran baru ini,
sungguh di
luar yang dapat kita bayangkan. Muhammad diancam,
keluarga
dan ninik-mamaknya, diancam. Ia
diejek, ajarannya
diejek. Ia
diperolok, dan orang yang jadi pengikutnya juga
diperolok. Penyair-penyair mereka
didatangkan supaya
mengejeknya, supaya
memburuk-burukkannya. Ia diganggu, dan
orang
yang jadi pengikutnya
dinista dan disiksa.
Ia mau
disuap, ditawari
kerajaan, ditawari segala
yang menjadi
kedambaan
orang. Kawan-kawan seperjuangannya diusir dari tanah
air, perdagangan dan
pintu rejeki mereka dibekukan. Ia
dan
sahabat-sahabatnya diancam
dengan perang serta
segala
akibatnya
yang mengerikan.
Akhirnya
blokade, akan dibiarkan mati kelaparan jika mungkin.
Tetapi, sungguhpun
begitu, Muhammad tetap tabah. Dengan cara
yang
amat baik tetap ia mengajak orang
menerima kebenaran,
yang hanya
karena itu ia diutus Tuhan kepada umat manusia,
sebagai
pembawa berita gembira, dan peringatan. Bukankah sudah
tiba waktunya
Quraisy meletakkan senjatanya, dan mempercayai
Al-Amin,
orang yang dikenalnya sejak masa
anak-anak, sejak
masa muda
belia, sebagai orang
yang jujur, tak
pernah
berdusta!?
Ataukah mereka sudah
mencari alat lain
selain
senjata perang
seperti disebutkan, dan lalu terbayang oleh
mereka,
bahwa dengan demikian mereka akan menang perang, lalu
kedudukan berhala-berhala mereka
akan dapat dipertahankan
sebagai
pusat ketuhanan mereka seperti yang mereka
duga, dan
Mekahpun akan
dapat dipertahankan sebagai
museum
berhala-berhala dan
tempat yang disucikan
karena
berhala-berhala
itu akan tetap berada di Mekah?!
Tidak! Belum
tiba saatnya bagi
Quraisy akan tunduk
dan
menyerah.
Mereka sekarang sedang dalam puncak
kekuatirannya
bila seruan
Muhammad ini nanti
akan tersebar di kalangan
kabilah-kabilah
Arab sesudah terlebih dulu tersebar di Mekah.
Tinggal
satu senjata lagi pada mereka
sekarang yang sejak
semula sudah
menjadi pegangan dan
kekuatan mereka, yaitu
senjata propaganda:
propaganda dengan segala
implikasinya
berupa perdebatan,
argumentasi-argumentasi,
caci maki,
penyebaran
desas-desus serta sifat merendahkan
argumen lawan
dengan menganggap
alasan-alasannya sendiri yang
lebih baik.
Propaganda melawan
akidah dan pembawa
akidah disertai
tuduhan-tuduhan yang
dialamatkan kepadanya. Propaganda
yang
tidak
hanya terbatas pada Mekah saja - sebenarnya
buat Mekah
ini sudah
tidak lagi diperlukan dibandingkan dengan daerah
pedalaman
lain serta kabilah-kabilahnya,
semenanjung jazirah
serta semua
penduduknya. Dengan mengadakan
ancaman bujukan,
teror
dan penyiksaan, propaganda tidak
diperlukan lagi buat
Mekah. Tapi buat ribuan orang yang datang ke Mekah
tiap tahun
masih
tetap diperlukan. Mereka datang dalam urusan perdagangan
dan berziarah. Mereka berkumpul di pasar-pasar
'Ukaz, Majanna
dan
Dhul-Majaz, yang kemudian berziarah
sambil menyembelih
kurban,
mengharapkan berkah dan ampunan.
Oleh karena
itu, sejak memuncaknya permusuhan antara Quraisy
dengan
Muhammad terpikir oleh mereka akan menyusun suatu alat
propaganda anti
Muhammad. Lebih gigih lagi mereka memikirkan
hal
ini sesudah orang-orang
yang berziarah itu
diajaknya
supaya beribadat
hanya kepada Allah
yang Esa dan
tidak
bersekutu.
Hal ini sudah terpikir olehnya sejak
tahun-tahun
pertama dari
kerasulannya itu. Pada
mulanya, sejak masa
kerasulannya,
ia adalah seorang nabi, sampai
datangnya wahyu
menyuruh ia
memperingatkan
keluarga-keluarganya yang dekat.
Setelah
ia memperingatkan keluarga-keluarga Quraisy dan ada di
antara
mereka yang menerima Islam, di samping banyak juga yang
masih
kepala batu dan
mau berpikir-pikir dulu,
ia masih
berkewajiban mengajak
bangsanya sendiri, seluruh
masyarakat
Arab,
untuk kemudian meneruskan
kewajibannya itu mengajak
seluruh
umat manusia.
Setelah terpikir
akan mengajak orang yang datang berziarah
dari
berbagai macam kabilah Arab itu beribadat
kepada Allah,
beberapa orang
dari kalangan Quraisy
datang berunding dan
mengadakan
pertemuan di rumah Walid
bin'l-Mughira: Maksudnya
supaya dalam menghadapi persoalan Muhammad itu satu
sama lain
mereka tidak
bertentangan, dan tidak
saling mendustakan
mengenai
apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang Arab
yang
datang musim ziarah itu. Ada yang
mengusulkan, supaya
dikatakan saja,
bahwa Muhammad itu
dukun. Tetapi al-Walid
menolak
pendapat ini, sebab apa yang dikatakan Muhammad
bukan
kumat-kamit seorang
dukun. Yang lain mengusulkan lagi, bahwa
Muhammad
itu orang gila. Walidpun menolak pendapat ini,
sebab
gejala atas
tuduhan demikian tidak
tampak. Ada lagi yang
menyarankan
supaya Muhammad dikatakan sebagai tukang
sihir.
Juga di
sini Walid menolak, sebab Muhammad tidak mengerjakan
rahasia juru
tenung atau sesuatu
pekerjaan tukang-tukang
sihir.
Sesudah terjadi
diskusi akhirnya Walid
mengusulkan supaya
kepada
peziarah-peziarah orang-orang Arab itu dikatakan bahwa
dia (Muhammad)
seorang juru penerang yang mempesonakan,1 apa
yang
dikatakannya merupakan pesona yang
akan memecah-belah
orang
dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isteri dan
keluarganya.
Dan apa yang dituduhkan itu pada orang-orang Arab
pendatang itu
merupakan bukti, sebab
penduduk Mekah sudah
ditimpa perpecahan
dan permusuhan. Padahal
sebelum itu
penduduk Mekah
merupakan suatu contoh solidaritas dan ikatan
yang
paling kuat
Pihak Quraisy
pada musim ziarah
itu segera menyongsong
orang-orang
yang datang berziarah dengan memperingatkan mereka
jangan
mendengarkan orang itu dan pesona
bahasanya. Jangan
sampai mereka
itu mengalami bencana
seperti yang dialami
penduduk
Mekah dan menjadi api
fitnah yang akan
membakar
seluruh
jazirah Arab.
Akan tetapi
propaganda begini tidak dapat berdiri sendiri,
juga
tidak dapat melawan penerangan yang
mempesonakan yang
sudah dipercayai
orang itu. Kalau memanglah kebenaran yang
dibawa
oleh penerangan yang mempesonakan itu,
apa salahnya
orang
mempercayainya? Adakah bila sewaktu-waktu orang mengakui
kelemahannya dan
menyatakan perlawanannya merupakan
suatu
propaganda
yang ampuh? Di samping propaganda itu Quraisy harus
punya
propaganda lain lagi. Untuk propaganda itu Quraisy akan
mendapatkannya pada Nadzr b. Harith. Manusia Nadzr ini
adalah
setannya Quraisy,
orang yang pernah
pergi ke Hira
dan
mempelajari cerita
raja-raja Persia, peraturan-peraturan
agamanya, ajaran-ajarannya tentang
kebaikan dan kejahatan
serta tentang
asal-usul alam semesta.
Setiap dalam suatu
pertemuan Muhammad
mengajak orang kepada
Allah, serta
memperingatkan
mereka tentang akibat-akibat yang telah menimpa
bangsa-bangsa
sebelumnya yang menentang
peribadatan kepada
Allah, ia lalu datang
menggantikan tempat Muhammad dalam
pertemuan
itu. Maka berceritalah ia kepada
Quraisy tentang
sejarah dan
agamanya, lalu katanya: Dengan cara apa Muhammad
membawakan ceritanya
lebih baik daripada
aku? Bukankah
Muhammad membacakan
cerita-cerita orang dahulu
seperti yang
kubacakan
juga? Quraisypun lalu menyebarkan kisah-kisah
Nadzr
itu dengan
jalan bercerita lagi
sebagai propaganda atas
peringatan
dan ajakan Muhammad kepada mereka itu.
Dalam
pada itu di Marwa Muhammad sering
duduk-duduk dengan
seorang budak
Nasrani yang konon bernama Jabr. Orang-orang
Quraisy
menuduh, bahwa sebagian besar apa yang dibawa Muhammad
itu, Jabr inilah yang mengajarnya. Apabila ada
orang yang mau
meninggalkan
kepercayaan nenek-moyangnya, maka
agama Nasrani
inilah yang
lebih utama. Jadi
tuduhan inilah yang
di
desas-desuskan
oleh Quraisy. Untuk itulah datang Firman Tuhan:
"Kami sungguh
mengetahui bahwa mereka
berkata; yang
mengajarkan itu
adalah seorang manusia.
Bahasa orang yang
mereka
tuduhkan itu bahasa asing, sedang ini
adalah bahasa
Arab
yang jelas sekali." (Qur'an: 16: 103)
Dengan propaganda
semacam itu dan
sebangsanya Quraisy
memerangi Muhammad
lagi dengan harapan
akan lebih ampuh
daripada gangguan
yang dialaminya dan siksaan yang dialami
pengikut-pengikutnya. Akan
tetapi kuatnya kebenaran
dalam
bentuk
yang jelas dan sederhana yang dilukiskan melalui ucapan
Muhammad,
lebih tinggi dari yang mereka katakan. Makin
sehari
makin tersebar
juga itu di kalangan orang-orang Arab. Tufail
b.
'Amr ad-Dausi, seorang bangsawan dan
penyair cendikiawan,
ketika datang
di Mekah segera dihubungi oleh
Quraisy dengan
memperingatkannya dari
Muhammad dan kata-katanya yang
mempesonakan itu,
yang hendak memecah-belah
orang dengan
keluarganya,
bahkan dengan dirinya
sendiri. Mereka kuatir
kalau peristiwa
seperti Mekah itu akan menimpa
mereka juga.
Jadi
sebaiknya jangan mengajak dan jangan
mendengarkan dia
bicara.
Hari itu
Tufail pergi ke
Ka'bah. Muhammad sedang di sana.
Ketika ia
mendengarkan kata-kata Muhammad,
ternyata itu
kata-kata yang
baik sekali. "Biar
aku mati, aku seorang
cendekiawan,
penyair," katanya dalam hati. "Aku dapat mengenal
mana yang
baik dan mana pula yang buruk.
Apa salahnya kalau
aku
mendengarkan sendiri apa yang akan
dikatakan orang itu!
Jika ternyata
baik akan kuterima,
kalau buruk akan
kutinggalkan."
Diikutinya
Muhammad sampai di rumah. Lalu dikatakannya apa
yang terlintas
dalam hatinya itu. Muhammad
menawarkan Islam
kepadanya
dan dibacakannya ayat-ayat
Quran. Laki-laki itu
segera menerima
Islam dan dinyatakannya kebenaran itu dengan
mengucapkan
kalimat Syahadat.
Bilamana kemudian ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri
diajaknya mereka itu menerima Islam. Merekapun ada yang segera
menerima, tapi ada juga yang masih lambat-lambat. Dalam pada
itu, beberapa tahun berikutnya sebagian besar mereka sudah
pula menerima Islam. Setelah pembebasan Mekah dan sesudah
susunan politik dengan bentuk tertentu sudah mulai terarah,
merekapun menggabungkan diri kepada Nabi.
Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh
saja dari sekian-banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan
Muhammad ini bukan terdiri dari hanya penyembah-penyembah
berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu pernah datang
kepadanya duapuluh orang Nasrani, setelah mereka mendengar
berita itu. Lalu mereka menanyainya, mendengarkan
kata-katanya. Merekapun menerima,mereka beriman dan
mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy makin geram,
sehingga mereka juga dimaki-maki.
"Kamu utusan yang gagal. Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat
seagamamu mencari berita tentang orang itu. Sebelum kamu kenal
benar-benar siapa dia agama kamu sudah kamu tinggalkan dan
lalu percaya saja apa yang dikatakannya."
Tetapi kata-kata Quraisy itu tidak membuat utusan itu mundur
menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu meninggalkan Islam.
Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika mereka
masih dalam agama Nasrani. Mereka sudah menyerahkan diri
kepada Tuhan sebelum mereka mendengarkan Muhammad.
Tetapi apa yang terjadi terhadap diri Muhammad lebih hebat
lagi dari itu. Orang Quraisy yang paling keras memusuhinya
sudah mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri: benarkah ia
mengajak orang kepada agama yang benar? Dan apa yang
dijanjikan dan diperingatkan kepada mereka, itu pula yang
benar?
Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan al-Akhnas b. Syariq
malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika sedang
membaca Qur'an di rumahnya. Mereka masing-masing mengambil
tempat sendiri-sendiri untuk mendengarkan, dan tempat satu
sama lain tidak saling diketahui. Muhammad yang biasa bangun
tengah malam, malam itu juga ia sedang membaca Qur'an dengan
tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap itu ayat-ayat
suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.
Tetapi sesudah fajar tiba, mereka yang mendengarkan itu
terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah jalan,
ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan:
Jangan terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang
masih bodoh, ini akan melemahkan kedudukan kita dan mereka
akan berpihak kepada Muhammad.
Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan
yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat menolak,
seolah kakinya membawanya kembali ke tempat yang semalam itu
juga, untuk mendengarkan lagi Muhammad membaca Qur'an. Hampir
fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi mereka satu sama
lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian
itu tidak mengalangi mereka untuk pergi lagi pada malam
ketiga.
Setelah kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi
dakwah Muhammad itu mereka merasa lemah, berjanjilah mereka
untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan mereka demikian
itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam
jiwa mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama
lain saling menanyakan pendapat mengenai yang sudah mereka
dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa takut. Mereka kuatir
akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah pemimpin
masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnyapun akan jadi
lemah pula dan menjadi pengikut Muhammad juga.
Gerangan apa keberatan mereka menjadi pengikut-pengikut
Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka,
tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka atau
penguasa di atas mereka? Disamping itu dia adalah laki-laki
yang sungguh rendah hati, sangat mencintai masyarakatnya,
setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka. Sangat
halus perasaannya, sehingga kalau akan merugikan orang miskin
atau yang lemahpun ia merasa takut. Setiap ia mengalami
penderitaan, hatinya baru merasa tenang bila ia sudah merasa
mendapat pengampunan. Bukankah tatkala suatu hari ia sedang
dengan al-Walid bin'l-Mughira, salah seorang pemimpin Quraisy
yang diharapkan keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum
yang buta, dan minta diajarkan Qur'an kepadanya. Begitu
mendesak ia, sehingga Muhammad merasa kesal karenanya,
mengingat ia sedang sibuk menghadapi Walid. Ditinggalkannya
orang buta itu dengan muka masam.
Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati kecilnya
memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya
kepada dirinya sendiri: Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu
dengan ayat-ayat berikut:
"Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya.
Dan apa yang memberitahukan kau, barangkali ia orang yang
bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna
baginya. Tetapi kepada orang yang serba cukup itu. Engkau
menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak
bersih hati. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh datang
kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu
adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah
memperhatikan peringatan itu. Dalam kitab-kitab yang
dimuliakan. Dijunjung tinggi dan disucikan. Yang ditulis
dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang
bersih." (Qur'an: 80: 1-16)
Kalau memang itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy
menjadi pengikutnya dan mendukung dakwahnya? Terutama sesudah
hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan masa masa
silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang membuat jiwa
mereka jadi beku, dan sesudah mereka melihat bahwa ajaran
Muhammad itu sempurna, dan penuh keagungan?
Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahun-tahun itu membuat
orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang
konservatif terhadap masa lampau yang sudah lapuk? Ini dapat
terjadi pada orang-orang istimewa, yang dalam hatinya selalu
terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka,
mereka masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya
sudah mereka percayai untuk kemudian membuang segala kepalsuan
yang masih melekat, betapapun tingginya tingkat kebudayaan
orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah seperti kuali tempat
melebur logam yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat
baru yang dilemparkan kedalamnya, lalu dilebur dan disaring.
Mana yang bernoda dibuang, dan tinggal yang baik, yang benar
dan yang indah. Mereka itu mencari kebenaran tentang apa saja,
di mana saja dan dari siapa saja. Oleh karena pada setiap
bangsa, setiap zaman, mereka ini merupakan inti yang terpilih,
maka jumlah mereka selalu sedikit. Mereka selalu mendapat
perlawanan, yang datangnya terutama dari orang-orang kaya,
orang orang berkedudukan dan orang-orang berkuasa. Mereka
takut setiap corak pembaruan itu akan menelan harta mereka,
akan menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain
dengan cara hidup mereka yang demikian itu, kenyataan lain
yang sudah begitu jelas tidak mereka kenal. Semua itu bagi
mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka,
dan tidak benar apabila ia dapat menimbulkan kesangsian,
sedikit sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu
benar adanya bilamana ia dapat memberikan tambahan ke dalam
hartanya, dan tidak benar bilamana ia merintanginya. Agama
adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat
hawa-nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang
hawa-nafsu itu. Yang memiliki kedudukan, yang memiliki
kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti pemilik harta itu.
Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan yang
mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rejekinya
tergantung kepada mereka, supaya memusuhi penganjur
pembaharuan itu. Mereka minta bantuan awam supaya menyucikan
bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah minggat
ruh yang ada di dalamnya. Benteng-benteng itu mereka jadikan
kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam yang
tak bersalah itu, bahwa ruh suci yang mereka bungkus dengan
kain putih, masih dalam keagungannya dalam kurungan kuil-kuil
itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang penting
ia melihat pencariannya. Baginya tidak mudah akan dapat
memahami, bahwa kebenaran itu tidak akan tahan tinggal
terkurung dalam tembok-tembok kuil betapapun indah dan
agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan selalu
bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa
seorang tuan atau jiwa seorang budak. Juga tak ada sebuah
peraturan betapapun kerasnya yang dapat merintangi hal itu.
Bagaimana orang dapat mengharapkan dari mereka, mereka yang
pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan Qur'an
itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang
banyak melakukan pelanggaran itu, karena ia tidak
membeda-bedakan si buta miskin dengan orang yang hartanya
berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya. Kepada
seluruh umat manusia diserukannya, bahwa:
"Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah
yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa)." (Qur' an,
49: 13)
Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih bertahan dengan
kepercayaan leluhur mereka, bukanlah hal itu karena dilandasi
oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka sudah
terlalu mencintai pada cara lama yang mereka adakan itu.
Kemudian nasib membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya
karena kedudukan dan harta yang sudah berlimpah-limpah, dan
untuk itu pula mereka bertempur mati-matian.
Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan
persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi
pengikut Nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b.
Abi'sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah bicara
tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah
masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin
jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar jantungnya
tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi
dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya
saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya
penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu hari Nabi .a.s.
menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya: "Umayya,
sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar."
Atau seperti kata al-Walid bin'l-Mughira: "Wahyu didatangkan
kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan
pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas'ud 'Amr b. 'Umair
ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami adalah
pembesar-pembesar dua kota."
Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:
"Dan mereka berkata: 'Kenapa Qur'an ini tidak diturunkan
kepada orang besar dari dua kota itu?' Adakah mereka
membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan
penghidupan mereka itu, dalam hidup dunia ini." (Qur'an 43:
13-32)
Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam
berturut-turut mendengarkan pembacaan Qur'an, seperti dalam
cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl di
rumahnya. "Abu'l-Hakam,2 bagaimana pendapatmu tentang yang
kita dengar dari Muhammad?" tanyanya kepada Abu Jahl.
"Apa yang kaudengar?" kata Abu Jahl. "Kami sudah saling
memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga 'Abd Manaf.
Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka menanggung
kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami
dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba
kata mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima
"wahyu dari langit." Kapan kita akan menjumpai yang semacam
itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan tidak akan
membenarkannya."
Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam jiwa orang-orang
badui itu ialah rasa dengki, saling bersaing dan saling
bertentangan. Dalam hal ini salah sekali bila orang mencoba
mau menutup mata atau tidak menilainya sebagaimana mestinya.
Cukup kalau kita sebutkan saja adanya kekuasaan nafsu yang
begitu besar dalam jiwa tiap orang. Untuk dapat mengatasi
pengaruh ini memang diperlukan suatu latihan yang cukup
panjang, latihan jiwa dengan mengutamakan hukum akal diatas
dorongan nafsu, jiwa dan pikiran kita harus cukup tinggi
sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran yang datang dari
lawan bahkan dari musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang
dari kawan karibnya. Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran
yang dimilikinya itu kekayaannya sudah lebih besar dari harta
karun, dari kebesaran Iskandar (Agung) dan dari kerajaan
seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat
ini kalau tidak karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk
kebenaran itu.
Diluar itu, untuk mencapai tingkat pengertian yang lebih
tinggi, orang sudah dibutakan oleh harta benda duniawi, oleh
kenikmatan hidup sejenak yang dirasakannya. Untuk kepentingan
duniawi itu, untuk memburu saat sejenak itu, mereka berperang
dan bertempur. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghambat
mereka menancapkan kuku dan gigi mereka ke batang leher
kebenaran, kebaikan dan pengertian moral yang tinggi itu.
Lalu, kesempurnaan yang paling suci artinya itu oleh mereka
akan diinjak-injak di bawah telapak kaki yang sudah kotor.
Bagaimana pendapat kita tentang orang-orang Arab Quraisy itu
yang melihat Muhammad makin sehari makin banyak pengikutnya?
Mereka kuatir, kebenaran yang sudah diproklamirkan itu suatu
ketika akan menguasai mereka, akan menguasai orang-orang yang
sudah setia kepada mereka, yang lalu akan menjalar sampai
kepada orang-orang Arab di seluruh jazirah. Sebelum melakukan
itu mereka harus memotong leher orang itu dulu jika dapat
mereka lakukan. Lebih dulu mereka harus melakukan propaganda,
pemboikotan, blokade, penyiksaan dan kekerasan terhadap
musuh-musuh besar mereka itu.
Sebab ketiga keberatan mereka menjadi pengikut Muhammad ialah
mereka takut sekali pada hari kebangkitan serta siksa neraka
pada Hari Perhitungan kelak. Kita sudah melihat masyarakat
yang begitu hanyut dalam hidup bersenang-senang dengan cara
yang berlebih-lebihan. Mereka menganggap perdagangan dan riba
itu wajar. Bagi orang kaya di kalangan mereka itu tak ada
sesuatu yang dipandang hina, yang harus dijauhi. Disamping
itu, dengan membawakan sesajen segala kejahatan dan dosa
mereka itu sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu
nasibnya dengan qidh (anak panah) di depan Hubal, sebelum ia
melakukan sesuatu tindakan. Tanda yang diberikan oleh anak
panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Supaya
kejahatan-kejahatan dan dosa-dosanya itu diampuni oleh
berhala-berhala, cukup ia menyembelih binatang untuk
berhala-berhala itu. Ia dapat dibenarkan melakukan pembunuhan,
perampokan, melakukan kejahatan, ia tidak dilarang menjalankan
pelacuran selama ia mampu memberi suap kepada dewa-dewa itu
berupa kurban-kurban dan penyembelihan-penyembelihan.
Sekarang datang Muhammad membawakan ayat-ayat yang begitu
menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena
ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari
Kemudian mereka akan dibangkitkan kembali sebagai kejadian
baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong mereka hanyalah
perbuatan mereka sendiri.
"Apabila datang suara dahsyat yang memekakkan. Tatkala
seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya.
Isterinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan
urusannya sendiri. Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri.
Tertawa dan bergembira. Dan ada pula wajah-wajah kelabu pada
hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang
ingkar, orang-orang yang sudah rusak." (Qur'an, 80: 33-42)
Dan suara dahsyat itu datang.
"Apabila langit sudah bagaikan hancuran logam. Dan
gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan
akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri
kepada mereka. Ingin sekali orang jahat itu akan dapat menebus
diri dari siksaan hari itu dengan memberikan anak-anaknya.
Isterinya, saudaranya. Dan keluarganya yang melindunginya. Dan
semua yang ada di bumi; kemudian ia hendak menyelamatkan diri.
Tidak sekali-kali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepalapun
tercabut. Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan
yang berpaling. Yang telah menyimpan kekayaan dan
menyembunyikannya." (Qur'an, 70: 8-18)
"Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu takkan
ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan
kepadanya dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia!
Bacakan suratku. Sudah percaya benar aku bahwa aku akan
nmenemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan hidup.
Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannyapun dekat sekali.
Makanlah, dan minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yang
kamu sediakan masa lampau. Tetapi, barangsiapa yang suratnya
diberikan dengan tangan kiri, ia akan berkata: Ah, coba aku
tidak diberi surat! Dan tidak lagi aku mengetahui, bagaimana
perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak
dapat menolong aku. Hancurlah sudah kekuasaanku. Sekarang
bawalah dia dan belenggukan. Sesudah itu, campakkan ia kedalam
api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mata rantai, panjangnya
tujuhpuluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada Tuhan yang
Maha Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada
orang miskin. Maka, sekarang disini tak ada lagi kawan
setianya. Tiada makanan baginya selain daripada kotoran. Yang
hanya dimakan oleh mereka yang penuh dosa."(Qur'an, 69: 18-37)
Sudahkah orang membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah
merasa ngeri, merasa takut? Ini hanya sebahagian kecil dari
yang pernah diperingatkan Muhammad kepada masyarakatnya. Kita
membacanya sekarang, dan sebelum itupun sudah pula membacanya,
mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang
terdapat dalam Qur'an hidup lagi dalam pikiran kita, ketika
kita membacanya kembali.
"... Setiap kulit-kulit mereka itu sudah matang, Kami ganti
dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka rasakan."
(Qur'an, 4: 56)
Dengan merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah
memperkirakan betapa sebenarnya perasaan Quraisy dan terutama
orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan kata-kata semacam
itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa,
mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam
lindungan dewa-dewa dan berhala-berhala mereka.
Juga sesudah itu orang akan mudah pula memperkirakan betapa
meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan
tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal
arti Hari Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa
yang didengarnya itu. Tidak ada diantara mereka itu yang
membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia
akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya.
Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari
kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan
mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan
dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh
tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk
memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang
mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib
yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa
apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu boleh jadi
akan mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka
menantikan adanya alamat baik atau alamat buruk. Segera mereka
mengadukan nasib itu dengan permainan anak panah, dengan
mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung3 serta
menyembelih kurban. Semua itu merupakan penangkal terhadap
segala yang mereka takuti dalam hidup mereka di kemudian hari.
Sebaliknya, segala yang mengenai adanya balasan sesudah mati,
mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup, mengenai
surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk
mereka yang aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah
terlintas dalam pikiran mereka.
Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam
agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar
dengan gambaran yang begitu kuat dan menakutkan seperti yang
mereka dengar melalui wahyu kepada Muhammad itu, dan yang
memberi peringatan kepada mereka - akan siksa abadi dalam
perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut
hanya dengan mendengar gambarannya saja - kalau mereka masih
juga seperti keadaan itu, bersukaria dan berlumba-lumba
memperbanyak harta dengan melakukan penindasan terhadap si
lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan
melakukan riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang
dapat melihat dengan hati nuraninya jalan yang ditempuh
manusia dengan langkah yang begitu sempit selama hidupnya
menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala
suka dan dukanya.
Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti
langit dan bumi, disitu takkan terdengar cakap kosong, juga
tak ada perbuatan dosa. Yang ada hanyalah ucapan "selamat."
Segala yang menyenangkan hati, menyedapkan mata itulah yang
ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan yang menambah
lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang
segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam
kehidupan dunia ini. Mereka tidak betah menunggu sampai hari
pembalasan, sebab mereka memang tidak percaya pada hari
pembalasan itu.
Boleh jadi orang akan merasa heran bagaimana jantung
orang-orang Arab itu sampai begitu rapat tertutup tidak mau
menerima persepsi hidup akhirat serta balasan yang ada.
Padahal perjuangan antara yang baik dengan yang jahat itu
sudah berkecamuk dalam sejarah manusia sejak dunia ini
berkembang, tak pernah berhenti dan tak pernah diam.
Orang-orang Mesir purbakala, ribuan tahun sebelum kerasulan
Muhammad melengkapi mayat mereka dengan segala perbekalan
untuk keperluan akhirat, dalam kafannya diletakkan pula "Kitab
Orang Mati" lengkap dengan nyanyian-nyanyian dan
peringatan-peringatan. Pada kuil-kuil mereka dilukiskan pula
gambar-gambar timbangan, perhitungan, taubat dan siksaan.
Orang-orang India menggambarkan jiwa bahagia itu dalam
Nirwana. Sedang penitisan ruh jahat dilukiskan dalam bentuk
makhluk-makhluk yang sejak ribuan dan jutaan tahun tersiksa
sampai ia ditelan oleh kebenaran, supaya menjadi suci.
Kemudian ia kembali lagi melakukan kebaikan, karena ingin
mencapai Nirwana.
Juga orang-orang Majusi di Persia. Mereka tidak menolak adanya
perjuangan yang baik dan yang jahat, Dewa Gelap dan Dewa
Cahaya. Juga agama yang dibawa Musa, agama yang dibawa
Kristus, sama-sama melukiskan adanya kehidupan yang kekal,
adanya kesukaan Tuhan dan kemurkaanNya. Sekarang orang-orang
Arab. Tidakkah semua itu pernah sampai kepada mereka? Mereka
adalah pedagang-pedagang yang dalam perjalanan mereka pernah
mengadakan hubungan dengan agama-agama itu semua. Bagaimana
mereka tidak mengenalnya? Bagaimana tidak mungkin itu akan
menimbulkan suatu persepsi khusus pada mereka? Mereka adalah
orang-orang pedalaman yang banyak sekali berhubungan dengan
alam lepas tak terbatas. Lebih mudah bagi mereka melukiskan
ruh-ruh yang terdapat dalam wujud ini, menjelma pada siang
hari yang terang menyala atau pada senja menjelang malam
gulita. Ruh-ruh yang baik dan yang jahat, ruh-ruh yang mereka
anggap bersemayam dalam diri berhala-berhala yang akan
mendekatkan mereka kepada Tuhan itu.
Jadi sudah tentu mereka juga mempunyai konsep tentang alam
gaib yang ada di sekitar mereka. Akan tetapi, mereka sebagai
masyarakat pedagang, jiwa mereka lebih cenderung pada yang
nyata saja. Juga karena kegemaran mereka hidup
bersenang-senang, minum minuman keras, sama sekali mereka
menolak adanya balasan hari kemudian. Apa yang diperoleh orang
dalam hidupnya, menurut anggapan mereka, baik atau buruk
adalah balasan atas perbuatannya. Dan tak ada balasan lagi
sesudah hidup ini. Oleh karena itu wahyu yang berisi
peringatan dan berita gembira pada mula kerasulan itu
kebanyakannya turun di Mekah; karena ia ingin menyelamatkan
ruh mereka, tempat Muhammad diutus itu. Sudah sepatutnya pula
bila ia mengingatkan mereka atas dosa dan kesesatan yang telah
mereka lakukan itu. Sudah sepatutnya pula bila ia ingin
mengangkat mereka dari lembah penyembahan berhala kepada
penyembahan Allah Yang Tunggal, Maka Kuasa.
Demi keselamatan rohani keluarga dan umat manusia seluruhnya,
Muhammad serta orang-orang yang beriman sudi memikul segala
macam siksaan dan pengorbanan, memikul penderitaan rohani dan
jasmani, dan kemudian pergi meninggalkan tanah tumpah darah,
menjauhi permusuhan sanak-keluarga, yang sepintas-lalu sudah
kita lihat di atas. Dan seolah cinta Muhammad makin dalam
kepada mereka, makin besar hasratnya ingin menyelamatkan
mereka, setiap ia mengalami penderitaan dan siksaan yang lebih
besar lagi dari mereka itu. Hari Kebangkitan dan Hari
Perhitungan adalah ayat-ayat yang harus diperingatkan kepada
mereka guna menolong mereka dari penyakit paganisma dan
gelimang dosa yang.menimpa mereka itu. Pada tahun-tahun
permulaan itu tiada henti-hentinya wahyu memperingatkan dan
membukakan mata mereka.
Sungguhpun begitu mereka tetap gigih tidak mau mengakui, tetap
menolak, sampai-sampai mereka terdorong mengobarkan perang
mati-matian. Bahaya dan bencana peperangan itu baru padam
sesudah Islam mendapat kemenangan, sesudah Allah
menempatkannya diatas segala agama.
Catatan kaki:
1 Juru penerang yang mempesonakan, Juru pesona bahasa
atau pesona bahasa hampir merupakan terjemahan harfiah
dari ungkapan Sahir'-bayan atau Sihr'l-bayan, yang
sukar diterjemahkan, yakni suatu retorika, yang karena
kefasihan dan keindahan bahasanya, orang yang
mendengarnya terpesona seperti kena sihir lalu cepat
sekali menerima (A).
2 Nama panggilan Abu Jahl (A).
3 Menolak burung artinya melempari burung dengan batu
kerikil atau mengusirnya dengan suara. Kalau burung
terbang ke arah kanan, maka itu alamat buruk.